Senin, 02 Desember 2013

Perspektif Atas Dasar Pemikiran Kant Mengenai Itikad Baik

“Zwei Dinge erfullen das Gemut mit immer neuer und zunehmender Bewunderung und Ehrfurcht, je ofter und anhaltender sich das Nachdenken damit beschaftigt: der bestirnte Himmel uber mir und das moralische Gesetz in mir.” (Immanuel Kant)

(Dua hal yang memenuhi pikiranku dengan rasa heran dan takjub yang semakin besar, semakin sering dan semakin kuat aku merenungkannya: langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku)






Itikad Baik
Kant menolak pola etika-etika sebelumnya yang berpusat pada pertanyaan tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia bahagia. Menurut Kant, persoalan yang menentukan dalam moralitas adalah apa yang membuat manusia menjadi baik. Bagi Kant, apa yang baik adalah pada dirinya sendiri, bukanlah benda atau keadaan di dunia dan bukan juga pelbagai sifat maupun kualitas manusia. Sebab keadaan baik di dunia, misalnya persaudaraan, dapat saja disalahgunakan untuk tujuan jahat, lalu menjadi jahat. Begitu pula halnya kualitas seeorang, misalnya keberanian atau kebesaran hati, yang umumnya dianggap terpuji, dapat saja menjadi jahat apabila melandasi rencana jahat. Maka menurut Kant hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya sendiri, yaitu itikad baik.
Apa itu itikad baik? Itikad baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Untuk memahami pandangan ini, kita harus memperhatikan 2 hal perspektif Kant:
Pertama, Kant membedakan dengan tajam antara bentuk dan materi tindakan. Tujuan atau akibat yang mau dicapai dengan suatu tindakan adalah materinya. Itikad baik, menurut Kant tidak pernah ditentukan oleh materi atau tujuan tindakan, melainkan oleh bentuknya. Maka itikad taat pada kewajiban-lah yang menentukan moralitas, bukan tujuan tindakan.
Kedua, orang yang bertindak menurut bentuk tindakan berarti ia bertindak menurut pertimbangan atau patokan tertentu. Patokan ini oleh Kant disebut Maxime (prinsip subjektif yang menentukan kehendak). Suatu tindakan itu baik dalam arti moral apabila berdasarkan maksim yang bersifat moral, dan jahat apabila didasarkan maksim yang tidak bersifat moral. Sebuah maksim yang bersifat moral apabila memuat kemauan untuk menghormati hukum moral. Orang baik adalah orang yang bersedia melakukan (“beritikad”) apa yang menjadi kewajibannya.
Suatu itikad sesuai dengan kewajiban apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan (maksim-maksim) yang dapat diuniversalisasikan. Artinya, yang dapat kita kehendaki agar berlaku bukan hanya bagi kita sendiri, melainkan bagi siapa saja. Suatu maksim bersifat moral apabila dapat diuniversalisasikan (dijadikan hukum umum), bersifat amoral/jahat apabila tidak dapat diuniversalisasikan. Oleh karena itu, Kant menegaskan paham-paham moral tidak mungkin diperoleh dari pengalaman empiris-inderawi. Paham-paham moral bersifat apriori dan berdasarkan akal budi praktis, yaitu berdasarkan pengertian mengenai baik dan buruk yang mendahului segala pengalaman.

Itikad Baik Berhubungan Erat Dengan Kehendak Bebas Manusia
Paham bahwa moral itu bersifat apriori, berhubungan erat.dengan prinsip otonomi (kehendak bebas) manusia. Dalam Kritik Atas Rasio Murni (Critique of Pure Reason), Kant menjadikan unsur-unsur penting dari semua pengetahuan (universalitas dan keniscayaan) tergantung (dependent), bukan pada isi pengalaman, tetapi pada bentuk-bentuk apriori. Demikian juga dalam Kritis Atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason), Kant membuat universalitas dan hukum moral menjadi tergantung, bukan pada tindakan empiris dan tujuan yang kita niatkan dalam tindakan kita, tetapi pada imperatif kategoris, yakni dalam kehendak (will) itu sendiri.
Sebuah tindakan akan menjadi tindakan yang baik secara moral  jika kehendak (will) adalah otonom. Tindakan dilakukan bukan berdasarkan pertimbangan pada hasil akhir yang akan dicapai tetapi hanya pada ketaatan pada kewajiban. “Kewajiban demi kewajiban itu sendiri”: inilah rigiditas kewajiban moral Kantian. Ini artinya di antara semua imperatif yang dapat menentukan kehendak (will) dalam sebuah tindakan, maka perlu membedakan yang hipotesis dari yang kategoris. Jikalau tidak seperti ini maka patokan-patokan dari tindakan kita akan tergantung kepada rasionalitas dan pengalaman kita belaka—dan kita akan mudah terpesona dengan penampilan ’baik-baik’ dari orang yang sebenarnya bermaksud jahat.
Berbagai kaidah tindakan yang datang dari luar dan dipaksakan oleh pihak luar lantas tidak bisa menjadi dasar moralitas. Hal ini menegaskan bahwa yang menghendaki dan menjalankan suatu tindakan bukanlah pihak lain, melainkan kita sendiri. Kitalah yang membuat hukum, tanpa ditentukan  oleh apa yang “di luar” kehendak kita, misalnya tujuan tertentu, perasaan tertentu, atau bahkan kekuasaan lain di luar diri kita. Kant menyebut prinsip ini sebagai “otonomi kehendak” (Autonomie des Willens). Kehendak yang otonom adalah kehendak untuk melakukan sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkannya sendiri, bukan bertindak tanpa prinsip atau hanya ikut-ikutan orang lain.

Perbedaan Antara Hukum (Legalitas) dan Moralitas
Dalam hal legalitas berarti suatu tindakan diukur secara lahiriah menurut peraturan atau norma yang berlaku—motif nurani di balik kesesuaian tindakan dengan norma itu menjadi tidak penting—segala tindakan dianggap sah “yang penting sesuai dengan peraturannya”, atau asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi dalam hal inilah, maka kemungkinan anggaran ”siluman” Pemerintah meskipun tidak sesuai dengan spesifikasi—akan dianggap sah, asalkan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau menurut prosedur yang sudah ditetapkan. Di sinilah nilai dan kesadaran moral ataupun motivasi dan dorongan-dorongan nurani tidak diperhatikan. Legalitas memang terbatas pada aspek lahiriah suatu tindakan. Moralitas, menurut Kant berarti kesesuaian antara suatu sikap dan perbuatan dengan hukum nurani, dan dengan apa yang disadari sebagai kewajiban dan tindakan moral.
Moralitas terungkap dalam bentuk kehendak nurani dan menjadi pendorong paling kuat terhadap tindakan moral. Jadi legalitas merupakan perihal tindakan lahiriah sedangkan moralitas bersumber pada kaidah nurani yang terdalam. Legalitas dapat dilihat, sementara menurut Kant, “hanya Tuhan dapat melihat bahwa kehendak nurani kita adalah moral dan murni”. Persepktif moralitas menyatakan bahwa seseorang tidak korupsi bukanlah masalah ia mau secara lahiriah bertindak sesuai hukum (legalitas) karena taat pada peraturan “Jangan korupsi”, melainkan karena ia benar-benar sadar berdasarkan nuraninya bahwa memang sudah kewajibannya untuk tidak melakukan korupsi. Untuk itu secara jelas bahwa apa yang secara lahiriah sesuai dengan peraturan atau mengikuti prosedur legal, belum tentu punya nilai moral.
Dalam hal inilah maka setiap orang harus bertindak sedemikian rupa sehingga prinsip subjektifnya dapat sekaligus menjadi prinsip hukum yang berlaku universal. Jadi maksim “apa yang ingin kita lakukan pada diri kita, itulah yang harus kita lakukan kepada orang lain” dan ini harus dikehendaki pula sebagai suatu prinsip objektif dan berlaku universal bagi siapapun juga. Itulah salah satu bentuk imperatif kategoris yakni prinsip subjektif yang dapat sekaligus menjadi kaidah moral yang objektif dan berlaku umum.
Moralitas bagi Kant adalah masalah itikad baik yang berasal dari batin, bukan sekedar penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adat istiadat, negara, agama). Ketaatan pada legalitas peraturan belum merupakan jaminan bagi kualitas moral seseorang. Hanya jika kita melakukan sesuatu yang murni karena dorongan itikad baik sajalah, maka tindakan kita dapat dikatakan sebagai tindakan moral—karena itulah etika Kant seringkali disebut sebagai etika kewajiban. Itikad baiklah yang akan menentukan tindakan secara moral benar, bukan akibat dari tindakan itu. Oleh sebab itu hanya tindakan hukum (legalitas) yang berlandaskan itikad baik, dengan sendirinya yang dapat disebut sebagai moralitas.

***

Teddy Delano Gozali
Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar