Senin, 02 Desember 2013

Koruptor = Pencuri ? (Asta Corah Dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra)


Pada zaman Majapahit, Hukum dan Ketatanegaraan ditulis dalam buku çâstra. Kutâramânawadharmaçâstra. Selain Kitab Kutâramânawadharmaçâstra, ada juga sebuah kitab undang-undang yang juga digunakan, ditulis oleh Gajah Mada, yaitu Kitab Kanaka—namun hanya dipakai dalam pengadilan militer. Oleh karena perkembangan kekuasaan Majapahit, maka Kitab Kutâramânawadharmaçâstra ini memiliki pengaruh yang besar kepada daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Kitab Kutâramânawadharmaçâstra ini sebenarnya bahan-bahannya mengambil dari kitab undang-undang yang biasanya dipakai dalam zaman Kerajaan Kediri, yaitu Kutâraçâstra dan sebuah buku undang-undang lagi yang terkenal, yaitu Mânawaçâstra.
Kitab Kutâramânawadharmaçâstra merupakan kitab prosa yang menguraikan aturan-aturan untuk melindungi hak milik rakyat dan sanksi-sanksi hukum bagi mereka yang bertindak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam kitab ini, misalnya: orang mencuri, orang yang mempergunakan mantera untuk mencelakakan orang lain, orang yang suka merusak kehormatan perempuan, orang yang bertindak sebagai lintah darat, dsb.
Dalam pemerintahan Majapahit, pengadilan dijalankan oleh hakim-hakim yang diberi gelar dhyaksa. Seluruh dhyaksa yang ada di dalam negara Majapahit ada di bawah pimpinan Mahapatih. Mahapatih sendiri langsung di bawah Sri Maharaja. Jika ada suatu proses yang harus diadili, maka diadakan sidang yang terdiri dari Sri Maharaja sebagai anggota yang tertinggi, beberapa orang keluarga Raja, beberapa pegawai tinggi dan beberapa hakim. Pada sidang itu pihak yang mengadu dan pihak yang diadu masing-masing memberikan keterangannya, sesudah itu hakim membuka Kitab Kutâramânawadharmaçâstra untuk mencari pertimbangan, membicarakan hukum adat yang berlaku, lalu meminta pertimbangan para ulama dan kaum tua yang berpengalaman. Sesudah semua itu dipertimbangkan dengan masak barulah diambil keputusan sidang.


***
Mengenai siapa yang dapat disebut pencuri, dalam Pasal 21 Kitab Kutâramânawadharmaçâstra digolongkan menjadi delapan jenis (asta corah):
  1. mereka yang melakukan pencurian
  2. mereka yang menghasut supaya mencuri
  3. mereka yang memberi makanan kepada pencuri
  4. mereka yang memberi tempat tinggal kepada pencuri
  5. mereka yang bersahabat dengan pencuri
  6. mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat kesempatan untuk mencuri
  7. mereka yang menolong seorang pencuri
  8. mereka yang menyembunyikan seorang pencuri
Hukuman yang diberikan kepada ‘delapan orang pencuri’ (asta corah) itu berlainan, seperti terdapat pada Pasal 22 dan 23 Kitab Kutâramânawadharmaçâstra (Wojowasito, 1950):
Pasal 22:  Mereka yang mencuri dan mereka yang menghasut supaya mencuri, kalau ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman mati oleh baginda; isteri , anak pencuri itu dengan segala hak miliknya dibawa ke dalam tempat tinggal baginda untuk dijual oleh baginda atau diberikan kepada orang lain; isteri dan anak mereka yang menghasut supaya mencuri, boleh tetap di tempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000; kalau mereka juga ikut menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus dihukum mati pula oleh baginda.
Pasal 23: Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan denda 20.000 oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri, dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri, sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda 40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang mereka tahu bahwa orang itu pencuri, atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda.

Korupsi dan manipulasi adalah termasuk bagian tafsir dari ‘mencuri’ di dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra. Hal ini terbukti berdasarkan catatan-catatan sejarah. Pada tahun 1319, seorang Mahapatih Majapahit dihukum mati oleh Raja Jayanegara dengan beberapa tikaman, karena memanipulasi bukti-bukti persidangan. Pada tahun 1331 seorang Menteri Majapahit bernama Kembar dihukum mati oleh Rajapatni Tribuwanatunggadewi karena terlibat kasus korupsi. Di sinilah kiranya dalam era kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa penafsiran ‘mencuri’ di dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra bisa dilekatkan pada siapa saja, bahkan pada pejabat-pejabat tinggi yang korupsi dan manipulasi—bukan hanya rakyat kecil yang maling saja. Pemaknaan mencuri juga bukan hanya terbatas pada mereka yang mencuri saja, tapi juga pada yang lainnya: yang menghasut supaya mencuri, yang memberi makanan kepada pencuri, yang memberi tempat tinggal kepada pencuri, yang bersahabat dengan pencuri, yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat kesempatan untuk mencuri, yang menolong seorang pencuri, yang menyembunyikan seorang pencuri.

***
Jika kita kaji istilah ‘mencuri’ di era sekarang ini, mencuri kiranya sudah terlanjur menjadi istilah untuk pencuri yang pelakunya adalah rakyat kelas bawah. Padahal banyak perbuatan mencuri lainnya, seperti korupsi, manipulasi, penggelapan pajak, dan penumpukan harta secara ilegal. Bila ketahuan, pencuri yang pelakunya rakyat kecil itu, bisa langsung dihakimi massa, dihajar, bahkan sampai dibakar mati sebelum diproses ke pengadilan, seperti yang banyak saksikan dalam laporan kriminal di televisi. Sementara koruptor dan manipulator tak mengalami nasib sekejam itu, malahan mereka enak-enak hidup menikmati hasil perbuatan jahatnya.
Maklum, saat ini banyak yang menafsirkan mencuri adalah hanya maling. Sementara korupsi dan manipulasi, yang sesungguhnya juga mencuri, tidak bisa digolongkan dalam tindakan mencuri. Banyak pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi dan manipulasi, hanya saja istilahnya bukan mencuri. Banyak pejabat dan aparatur hukum yang bertindak melampaui wewenangnya: melindungi bisnis-bisnis ilegal, melindungi koruptor, membebaskan koruptor—hanya saja istilahnya bukan mencuri. Malahan ada kejahatan pencurian yang dilakukan oleh mereka yang berada di jalur kekuasaan, yang melampaui pencuri biasa, atau bahkan lebih pencuri daripada pencuri, lebih maling daripada maling—hanya saja istilahnya bukan mencuri atau maling.
Di negara ini, jadi maling benar-benar akan menderita, sedangkan jadi koruptor atau manipulator bisa hidup enak, bebas berkeliaran dan parahnya menjadi sosok yang kebal hukum, karena kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan. Syamsul Nursalim adalah salah satu contohnya, ia banyak mendapatkan pertolongan dari tangan-tangan kekuasaan (baca buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ yang ditulis George Junus Aditjondro). Padahal mereka yang menolong seorang pencuri, dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra juga dapat ditafsirkan sebagai pencuri—tapi kini rupanya penafsiran itu telah terdistorsi.
Di sinilah terjadi ketidakadilan yang sebagian kiranya adalah pemikiran yang terlalu sempit dan segmentatif dalam pemberian makna terhadap perbuatan ‘mencuri’. Distorsi pemaknaan kata ’mencuri’ inilah yang harus dikritisi, agar istilah ’pencuri’ atau ’maling’ tak hanya selalu dikaitkan pada ’rakyat kecil’ yang mencuri saja, tetapi seharusnya juga pada mereka yang bertengger pada pohon kekuasaan yang melakukan korupsi dan manipulasi, atau pun mereka yang menolong dan melindungi seorang koruptor dan manipulator dengan memakai payung hukum dan kekuasaan.
***
Teddy Delano Gozali

Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra

4 komentar:

  1. betul sekali bung, memang sitilah koruptor harusnya dihapuskan, disamakan saja sama maling.

    BalasHapus
  2. Good. Bagus mas ulasannya....:)

    BalasHapus
  3. Bersahabat dengan pencuri disebut apa ya ka?

    BalasHapus
  4. Bantu saya tolong dong jelaskan bagian bagian dari asta corah

    BalasHapus