Pada
zaman Majapahit, Hukum dan Ketatanegaraan ditulis dalam buku çâstra. Kutâramânawadharmaçâstra.
Selain Kitab Kutâramânawadharmaçâstra, ada juga sebuah kitab
undang-undang yang juga digunakan, ditulis oleh Gajah Mada, yaitu Kitab Kanaka—namun
hanya dipakai dalam pengadilan militer. Oleh karena perkembangan kekuasaan
Majapahit, maka Kitab Kutâramânawadharmaçâstra ini memiliki pengaruh
yang besar kepada daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Kitab Kutâramânawadharmaçâstra
ini sebenarnya bahan-bahannya mengambil dari kitab undang-undang yang biasanya
dipakai dalam zaman Kerajaan Kediri, yaitu Kutâraçâstra dan sebuah buku
undang-undang lagi yang terkenal, yaitu Mânawaçâstra.
Kitab
Kutâramânawadharmaçâstra merupakan kitab prosa yang menguraikan
aturan-aturan untuk melindungi hak milik rakyat dan sanksi-sanksi hukum bagi
mereka yang bertindak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam kitab ini,
misalnya: orang mencuri, orang yang mempergunakan mantera untuk mencelakakan
orang lain, orang yang suka merusak kehormatan perempuan, orang yang bertindak
sebagai lintah darat, dsb.
Dalam
pemerintahan Majapahit, pengadilan dijalankan oleh hakim-hakim yang diberi
gelar dhyaksa. Seluruh dhyaksa yang ada di dalam negara Majapahit
ada di bawah pimpinan Mahapatih. Mahapatih sendiri langsung di bawah Sri
Maharaja. Jika ada suatu proses yang harus diadili, maka diadakan sidang yang
terdiri dari Sri Maharaja sebagai anggota yang tertinggi, beberapa orang
keluarga Raja, beberapa pegawai tinggi dan beberapa hakim. Pada sidang itu
pihak yang mengadu dan pihak yang diadu masing-masing memberikan keterangannya,
sesudah itu hakim membuka Kitab Kutâramânawadharmaçâstra untuk mencari
pertimbangan, membicarakan hukum adat yang berlaku, lalu meminta pertimbangan
para ulama dan kaum tua yang berpengalaman. Sesudah semua itu dipertimbangkan
dengan masak barulah diambil keputusan sidang.
***
Mengenai
siapa yang dapat disebut pencuri, dalam Pasal 21 Kitab Kutâramânawadharmaçâstra
digolongkan menjadi delapan jenis (asta corah):
- mereka yang melakukan pencurian
- mereka yang menghasut supaya mencuri
- mereka yang memberi makanan kepada pencuri
- mereka yang memberi tempat tinggal kepada pencuri
- mereka yang bersahabat dengan pencuri
- mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri
hingga mendapat kesempatan untuk mencuri
- mereka yang menolong seorang pencuri
- mereka yang menyembunyikan seorang pencuri
Hukuman
yang diberikan kepada ‘delapan orang pencuri’ (asta corah) itu berlainan, seperti terdapat
pada Pasal 22 dan 23 Kitab Kutâramânawadharmaçâstra (Wojowasito, 1950):
Pasal 22: Mereka yang mencuri dan mereka yang
menghasut supaya mencuri, kalau ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman
mati oleh baginda; isteri , anak pencuri itu dengan segala hak miliknya dibawa
ke dalam tempat tinggal baginda untuk dijual oleh baginda atau diberikan kepada
orang lain; isteri dan anak mereka yang menghasut supaya mencuri, boleh tetap
di tempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000; kalau mereka juga ikut
menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus dihukum mati pula oleh baginda.
Pasal 23: Mereka
yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri juga mereka yang memberi
makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan denda 20.000
oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang
menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri, dan mengatakan
bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri,
sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan
denda 40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang mereka tahu
bahwa orang itu pencuri, atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama
bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka
itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula
oleh baginda.
Korupsi
dan manipulasi adalah termasuk bagian tafsir dari ‘mencuri’ di dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra.
Hal ini terbukti berdasarkan catatan-catatan sejarah. Pada tahun 1319, seorang
Mahapatih Majapahit dihukum mati oleh Raja Jayanegara dengan beberapa tikaman, karena
memanipulasi bukti-bukti persidangan. Pada tahun 1331 seorang Menteri Majapahit
bernama Kembar dihukum mati oleh Rajapatni Tribuwanatunggadewi karena terlibat
kasus korupsi. Di sinilah kiranya dalam era kerajaan Majapahit dapat dilihat
bahwa penafsiran ‘mencuri’ di dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra bisa
dilekatkan pada siapa saja, bahkan pada pejabat-pejabat tinggi yang korupsi dan
manipulasi—bukan hanya rakyat kecil yang maling saja. Pemaknaan mencuri juga
bukan hanya terbatas pada mereka yang mencuri saja, tapi juga pada yang
lainnya: yang menghasut supaya mencuri, yang memberi makanan kepada pencuri,
yang memberi tempat tinggal kepada pencuri, yang bersahabat dengan pencuri,
yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat kesempatan untuk
mencuri, yang menolong seorang pencuri, yang menyembunyikan seorang pencuri.
***
Jika
kita kaji istilah ‘mencuri’ di era sekarang ini, mencuri kiranya sudah
terlanjur menjadi istilah untuk pencuri yang pelakunya adalah rakyat kelas bawah.
Padahal banyak perbuatan mencuri lainnya, seperti korupsi, manipulasi,
penggelapan pajak, dan penumpukan harta secara ilegal. Bila ketahuan, pencuri
yang pelakunya rakyat kecil itu, bisa langsung dihakimi massa, dihajar, bahkan
sampai dibakar mati sebelum diproses ke pengadilan, seperti yang banyak
saksikan dalam laporan kriminal di televisi. Sementara koruptor dan manipulator
tak mengalami nasib sekejam itu, malahan mereka enak-enak hidup menikmati hasil
perbuatan jahatnya.
Maklum, saat ini banyak yang menafsirkan
mencuri adalah hanya maling. Sementara korupsi dan manipulasi, yang
sesungguhnya juga mencuri, tidak bisa digolongkan dalam tindakan mencuri. Banyak
pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi dan manipulasi, hanya saja
istilahnya bukan mencuri. Banyak pejabat dan aparatur hukum yang bertindak
melampaui wewenangnya: melindungi bisnis-bisnis ilegal, melindungi koruptor,
membebaskan koruptor—hanya saja istilahnya bukan mencuri. Malahan ada kejahatan
pencurian yang dilakukan oleh mereka yang berada di jalur kekuasaan, yang
melampaui pencuri biasa, atau bahkan lebih pencuri daripada pencuri, lebih
maling daripada maling—hanya saja istilahnya bukan mencuri atau maling.
Di negara ini, jadi maling benar-benar
akan menderita, sedangkan jadi koruptor atau manipulator bisa hidup enak, bebas
berkeliaran dan parahnya menjadi sosok yang kebal hukum, karena kedekatannya
dengan lingkaran kekuasaan. Syamsul Nursalim adalah salah satu contohnya, ia
banyak mendapatkan pertolongan dari tangan-tangan kekuasaan (baca buku ‘Membongkar
Gurita Cikeas’ yang ditulis George Junus Aditjondro). Padahal mereka yang
menolong seorang pencuri, dalam Kitab Kutâramânawadharmaçâstra juga
dapat ditafsirkan sebagai pencuri—tapi kini rupanya penafsiran itu telah
terdistorsi.
Di sinilah terjadi ketidakadilan yang
sebagian kiranya adalah pemikiran yang terlalu sempit dan segmentatif dalam pemberian
makna terhadap perbuatan ‘mencuri’. Distorsi pemaknaan kata ’mencuri’ inilah
yang harus dikritisi, agar istilah ’pencuri’ atau ’maling’ tak hanya selalu dikaitkan
pada ’rakyat kecil’ yang mencuri saja, tetapi seharusnya juga pada mereka yang
bertengger pada pohon kekuasaan yang melakukan korupsi dan manipulasi, atau pun
mereka yang menolong dan melindungi seorang koruptor dan manipulator dengan
memakai payung hukum dan kekuasaan.
***
Teddy Delano Gozali
Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra
betul sekali bung, memang sitilah koruptor harusnya dihapuskan, disamakan saja sama maling.
BalasHapusGood. Bagus mas ulasannya....:)
BalasHapusBersahabat dengan pencuri disebut apa ya ka?
BalasHapusBantu saya tolong dong jelaskan bagian bagian dari asta corah
BalasHapus