Secara kebetulan, dua buah tas yang
berbeda bentuk bertemu dalam sebuah loker yang sama di suatu penitipan tas, di
sebuah supermarket. Tas yang pertama berbentuk koper kecil terbuat dari kulit
buaya. Tas itu tampak mengkilat dan licin sekali. Tas yang kedua berbentuk tas
ransel punggung. Tas ini terlihat sebagai sebuah tas yang umumnya dimiliki oleh
pelajar.
Kedua tas itu lantas saling menyapa.
Kata tas yang pertama, ”aku adalah tas
milik seorang pejabat negeri ini.”
“Aku adalah tas milik seorang mahasiswa,”
kata tas yang kedua.
Setelah keduanya berkenalan, keduanya sepakat
untuk menceritakan isi di dalam tubuh mereka.
“Di dalam tubuh koperku ini berisi
lembaran-lembaran dokumen proyek yang ditandatangani oleh tuanku. Lewat
dokumen-dokumen inilah tuanku mendapatkan banyak uang. Sebelum uang itu
dimasukkan di bank, uang itu selalu mangkir terlebih dahulu di dalam tubuh
koperku ini. Saat itu aku bisa merasakan harumnya bau uang hasil suap yang
didapatkan tuanku,” kata tas yang pertama dengan bangganya.
“Wah, sungguh beruntung ya kamu bisa
menjadi tas tuanmu itu,” ujar tas yang kedua.
“Ya, selain itu tubuh koperku ini juga
berisi berbagai naskah pidato hujatan bagi korupsi. Naskah pidato inilah yang
bisa mengayak pikiran dan otak rakyat untuk memilih kembali tuanku dalam pemilu
mendatang,” kata tas yang pertama.
“Wah…wah…berarti tuanmu itu lewat naskah
pidatonya sering mempermainkan rakyat kecil dan hukum, seperti seekor tikus
yang mempermainkan kucing....Hahaha...,” kata tas yang kedua tertawa menanggapi
hal itu.
“Hahaha...ya, begitulah kira-kira. Hanya
orang-orang kaya dan para pejabat saja yang dapat membeli tas koper dari kulit buaya,
seperti aku ini,” kata tas yang pertama dengan sombongnya. “Eh, aku sudah menceritakan
isi yang ada di dalam diriku, juga perihal siapa tuanku, aku rasa sekarang
giliranmu sobat.”
“Aih...Aku hanya tas ransel milik seorang
mahasiswa,” kata tas yang kedua.
“Lalu apa isi dari tubuh tasmu itu?“ tanya
tas yang pertama.
“Tubuh ranselku ini berisi buku-buku
pelajaran serta teori-teori tentang idealisme.” jawab tas yang kedua.
“Apa lagi selain itu?”
“Selain itu tubuh tasku juga berisi
tentang selebaran-selebaran orasi untuk menggulingkan para pejabat yang korup.”
“Wah…berarti tuan pemilik dirimu itu akan
sangat bertentangan sekali dengan tuan pemilik diriku. Akan tetapi, hanya itu
sajakah isinya?”
Tas yang pertama tampaknya tak puas dengan
jawaban tas yang kedua. Tas yang pertama merasa tas yang kedua belum
menceritakan sepenuhnya isi di dalam tubuh tas ranselnya.
“Masih ada lagi sih...”
“Ceritakanlah semua, kita ini hanya sebuah
tas, tidak usahlah menyembunyikan sesuatu. Telah kuceritakan semua isi di dalam
tubuhku, sungguh sangat tidak adil jika kamu tidak menceritakan semua isi di
dalam tubuhmu!” pinta tas yang pertama.
“Hmmm….selain berisi buku-buku pelajaran
dan selebaran orasi kutukan bagi para pejabat yang korup, tubuh ranselku juga
berisi surat tagihan pembayaran uang kuliah palsu. Serta transkip nilai palsu
miliknya,” kata tas yang kedua.
“Palsu? Apa maksudnya?” tanya tas yang
pertama masih belum mengerti.
“Tuan pemilikku ini memalsukan surat
pembayaran uang kuliah dari kampusnya, dengan melebihkan uang pembayaran kuliah
dari kampusnya. Selain itu tuan pemilikku juga memalsukan transkip nilainya
yang jelek dengan cara mengganti nilainya sendiri.”
“Oooo…jadi begitu ya… seorang idealis yang
intelektual tak akan pernah menjadi bersih sekaligus cerdas. Berarti tuan
pemilikmu itu kurang lebih sama dengan pemilikku. Perbedaannya adalah tuan
pemilikku membohongi rakyat, sedangkan tuan pemilikmu membohongi orangtuanya.
Hahaha...” kata tas yang pertama tertawa.
Ketika kedua tas tersebut sedang
bercakap-cakap, penjaga loker di supermarket itu tiba-tiba memasukkan sebuah
tas kulit yang telah tua, kotor dan pudar warnanya itu ke dalam loker di mana
kedua tas yang tadi sedang bercakap-cakap.
“Huhhh, kotor dan usang sekali kamu, siapa
pemilikmu?” tanya tas yang pertama dengan sombongnya kepada tas yang baru saja
bergabung satu loker dengannya.
“Aku adalah tas milik seorang lelaki tua
yang membeliku dari sebuah pasar loak,” kata tas itu.
Lalu tas yang pertama menceritakan ulang pembicaraan
antara ia dan tas kedua tadi.
”Rasa-rasanya aku pernah melihat kamu....”
kata tas kedua.
“Maukah kamu menceritakan apa isi dari
tubuh tas kamu?” pinta tas pertama.
“Hmmm…aku hanya sebuah tas kulit tua yang
sudah butut, dulunya aku adalah tas kulit yang mempunyai isi sama dengan
kalian,” kata tas kulit tua tersebut.
“Hah…sama dengan kami?” tanya tas yang
pertama heran.
“Ya. Dulu tubuh tasku ini berisi
selebaran-selebaran orasi reformasi dan buku-buku pergerakan reformasi.
Pemilikku dulu adalah seorang aktivis mahasiswa, ia adalah ketua dari salah
satu organisasi pergerakan reformasi,” kata tas tua tersebut.
“Wah, iya, hampir sama denganku,” kata tas
yang kedua.
“Lalu apa kesamaannya denganku?” tanya tas
yang pertama.
“Kesamaannya adalah setelah pemilikku
menjadi seorang pejabat, idealismenya sewaktu mahasiswa menjadi luntur entah ke
mana. Isi tubuh tasku pun berubah menjadi dokumen-dokumen hasil korupsi dan
penyelewengannya,” jawab tas tua itu, lalu ia melanjutkan lagi “Kira-kira tiga
bulan kemudian setelah ia menjadi anggota dewan, aku dibuang ke tukang rombeng.
”Itu mungkin karena tuan pemilikmu sudah
mendapatkan ganti sebuah tas kulit yang baru, lebih bagus daripada dirimu.”
celetuk tas yang kedua.
“Lantas apa isimu sekarang?” tanya tas
yang pertama.
“Karena pemilikku yang sekarang adalah
seorang buruh pabrik, maka isiku kini hanyalah sekedar baju ganti pemilikku
yang berbau keringat, yang sudah dipakainya tadi sewaktu ia bekerja,” jawab tas
kulit tua itu.
“Apakah hanya itu saja?” tanya tas yang
kedua.
“Di bagian depan saku tubuh tasku ada
sebuah foto anak dari pemilik tas ini,” jawab tas tua itu. “Hmmm...masih ada
lagi, di bagian depan saku tubuhku juga ada transkip nilai dan tagihan
pembayaran kuliah dari anak tuan pemilikku.”
Tas tua itu lalu bercerita, “Setiap setelah
makan siang, sewaktu beristirahat dari pekerjaan kasarnya sebagai buruh pabrik,
hal yang pertama kali dilakukan tuan pemilikku adalah membuka bagian depan saku
tubuh tasku. Ia mengambil foto anak semata wayangnya, menatapnya dan
mengusap-usap foto tersebut, kemudian ia mengambil transkip nilai kuliah
anaknya dan tersenyum bangga karena nilai anaknya tersebut begitu bagus. Namun
setelah ia mengambil tagihan pembayaran uang kuliah dan menatap nilai
rupiahnya, tuan pemilikku hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya, saat
itu juga bisa kupastikan akan ada setetes atau dua tetes air mata yang jatuh
dari pelupuk matanya. Setelah jam makan siang, ia akan mengembalikan foto,
transkip nilai dan tagihan pembayaran kuliah anaknya itu ke dalam bagian depan
saku tubuh tasku, kemudian ia akan melanjutkan pekerjaannya lagi sembari menyapu
matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya.”
“Sungguh kasihan sekali tuan pemilikmu itu,”
kata tas yang pertama. “Semoga saja anaknya tidak memalsukan surat tagihan
pembayaran uang kuliah, serta transkip nilai seperti pemilik dari tas ransel
ini.”
Tiba-tiba loker dibuka oleh penjaga loker,
lalu oleh penjaga loker diambilnya tas yang kedua, kemudian diserahkan kepada
seorang anak muda yang menitipkan tas tersebut. Tak lama kemudian, kembali
penjaga loker tersebut membuka loker dan mengambil tas butut, lalu
menyerahkannya kepada seorang lelaki tua.
Sejam kemudian penjaga loker itu kembali
membuka loker lagi dan mengambil tas kulit yang bagus, kemudian menyerahkannya
kepada seorang lelaki setengah baya yang memakai dasi dan jas rapi serta
menggenggam handphone keluaran terbaru.
***
Senja itu matahari hendak menenggelamkan
cahayanya. Terlihat dua orang berjalan keluar dari supermarket. Dua orang
tersebut bercakap-cakap.
“Ayah sebaiknya pulang duluan saja, aku
masih ada kegiatan kemahasiswaan di kampusku,” kata pemuda yang merupakan pemilik
dari tas ransel yang dititipkan di loker supermarket tadi.
“Ya, aku akan pulang duluan, belajar yang
benar dan jangan pulang malam-malam ya nak,” kata lelaki tua yang merupakan
pemilik dari tas kulit tua yang dititipkan di supermarket tadi.
Lelaki tua itu mengusap-usap kepala
anaknya yang pamit kepadanya dengan mencium punggung tangan kanannya. Mereka
kemudian berpisah.
Matahari semakin menenggelamkan dirinya ke
ufuk barat. Wajah lelaki tua itu tengadah menatap matahari yang kian tenggelam.
Pikirannya menerawang jauh ke masa depan, serta tagihan uang kuliah putranya yang
harus segera dibayarnya semester ini.
***
Salatiga, 2012-2013
Teddy Delano Gozali
Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra
nice :D
BalasHapus