Senin, 02 Desember 2013

Tas dan Idealisme

Secara kebetulan, dua buah tas yang berbeda bentuk bertemu dalam sebuah loker yang sama di suatu penitipan tas, di sebuah supermarket. Tas yang pertama berbentuk koper kecil terbuat dari kulit buaya. Tas itu tampak mengkilat dan licin sekali. Tas yang kedua berbentuk tas ransel punggung. Tas ini terlihat sebagai sebuah tas yang umumnya dimiliki oleh pelajar.


Kedua tas itu lantas saling menyapa.
Kata tas yang pertama, ”aku adalah tas milik seorang pejabat negeri ini.”
“Aku adalah tas milik seorang mahasiswa,” kata tas yang kedua.
Setelah keduanya berkenalan, keduanya sepakat untuk menceritakan isi di dalam tubuh mereka.
“Di dalam tubuh koperku ini berisi lembaran-lembaran dokumen proyek yang ditandatangani oleh tuanku. Lewat dokumen-dokumen inilah tuanku mendapatkan banyak uang. Sebelum uang itu dimasukkan di bank, uang itu selalu mangkir terlebih dahulu di dalam tubuh koperku ini. Saat itu aku bisa merasakan harumnya bau uang hasil suap yang didapatkan tuanku,” kata tas yang pertama dengan bangganya.
“Wah, sungguh beruntung ya kamu bisa menjadi tas tuanmu itu,” ujar tas yang kedua.
“Ya, selain itu tubuh koperku ini juga berisi berbagai naskah pidato hujatan bagi korupsi. Naskah pidato inilah yang bisa mengayak pikiran dan otak rakyat untuk memilih kembali tuanku dalam pemilu mendatang,” kata tas yang pertama.
“Wah…wah…berarti tuanmu itu lewat naskah pidatonya sering mempermainkan rakyat kecil dan hukum, seperti seekor tikus yang mempermainkan kucing....Hahaha...,” kata tas yang kedua tertawa menanggapi hal itu.
“Hahaha...ya, begitulah kira-kira. Hanya orang-orang kaya dan para pejabat saja yang dapat membeli tas koper dari kulit buaya, seperti aku ini,” kata tas yang pertama dengan sombongnya. “Eh, aku sudah menceritakan isi yang ada di dalam diriku, juga perihal siapa tuanku, aku rasa sekarang giliranmu sobat.”
“Aih...Aku hanya tas ransel milik seorang mahasiswa,” kata tas yang kedua.
“Lalu apa isi dari tubuh tasmu itu?“ tanya tas yang pertama.
“Tubuh ranselku ini berisi buku-buku pelajaran serta teori-teori tentang idealisme.” jawab tas yang kedua.
“Apa lagi selain itu?”
“Selain itu tubuh tasku juga berisi tentang selebaran-selebaran orasi untuk menggulingkan para pejabat yang korup.”
“Wah…berarti tuan pemilik dirimu itu akan sangat bertentangan sekali dengan tuan pemilik diriku. Akan tetapi, hanya itu sajakah isinya?”
Tas yang pertama tampaknya tak puas dengan jawaban tas yang kedua. Tas yang pertama merasa tas yang kedua belum menceritakan sepenuhnya isi di dalam tubuh tas ranselnya.
“Masih ada lagi sih...”
“Ceritakanlah semua, kita ini hanya sebuah tas, tidak usahlah menyembunyikan sesuatu. Telah kuceritakan semua isi di dalam tubuhku, sungguh sangat tidak adil jika kamu tidak menceritakan semua isi di dalam tubuhmu!” pinta tas yang pertama.
“Hmmm….selain berisi buku-buku pelajaran dan selebaran orasi kutukan bagi para pejabat yang korup, tubuh ranselku juga berisi surat tagihan pembayaran uang kuliah palsu. Serta transkip nilai palsu miliknya,” kata tas yang kedua.
“Palsu? Apa maksudnya?” tanya tas yang pertama masih belum mengerti.
“Tuan pemilikku ini memalsukan surat pembayaran uang kuliah dari kampusnya, dengan melebihkan uang pembayaran kuliah dari kampusnya. Selain itu tuan pemilikku juga memalsukan transkip nilainya yang jelek dengan cara mengganti nilainya sendiri.”
“Oooo…jadi begitu ya… seorang idealis yang intelektual tak akan pernah menjadi bersih sekaligus cerdas. Berarti tuan pemilikmu itu kurang lebih sama dengan pemilikku. Perbedaannya adalah tuan pemilikku membohongi rakyat, sedangkan tuan pemilikmu membohongi orangtuanya. Hahaha...” kata tas yang pertama tertawa.
Ketika kedua tas tersebut sedang bercakap-cakap, penjaga loker di supermarket itu tiba-tiba memasukkan sebuah tas kulit yang telah tua, kotor dan pudar warnanya itu ke dalam loker di mana kedua tas yang tadi sedang bercakap-cakap.
“Huhhh, kotor dan usang sekali kamu, siapa pemilikmu?” tanya tas yang pertama dengan sombongnya kepada tas yang baru saja bergabung satu loker dengannya.
“Aku adalah tas milik seorang lelaki tua yang membeliku dari sebuah pasar loak,” kata tas itu.
Lalu tas yang pertama menceritakan ulang pembicaraan antara ia dan tas kedua tadi.
”Rasa-rasanya aku pernah melihat kamu....” kata tas kedua.
“Maukah kamu menceritakan apa isi dari tubuh tas kamu?” pinta tas pertama.
“Hmmm…aku hanya sebuah tas kulit tua yang sudah butut, dulunya aku adalah tas kulit yang mempunyai isi sama dengan kalian,” kata tas kulit tua tersebut.
“Hah…sama dengan kami?” tanya tas yang pertama heran.
“Ya. Dulu tubuh tasku ini berisi selebaran-selebaran orasi reformasi dan buku-buku pergerakan reformasi. Pemilikku dulu adalah seorang aktivis mahasiswa, ia adalah ketua dari salah satu organisasi pergerakan reformasi,” kata tas tua tersebut.
“Wah, iya, hampir sama denganku,” kata tas yang kedua.
“Lalu apa kesamaannya denganku?” tanya tas yang pertama.
“Kesamaannya adalah setelah pemilikku menjadi seorang pejabat, idealismenya sewaktu mahasiswa menjadi luntur entah ke mana. Isi tubuh tasku pun berubah menjadi dokumen-dokumen hasil korupsi dan penyelewengannya,” jawab tas tua itu, lalu ia melanjutkan lagi “Kira-kira tiga bulan kemudian setelah ia menjadi anggota dewan, aku dibuang ke tukang rombeng.
”Itu mungkin karena tuan pemilikmu sudah mendapatkan ganti sebuah tas kulit yang baru, lebih bagus daripada dirimu.” celetuk tas yang kedua.
“Lantas apa isimu sekarang?” tanya tas yang pertama.
“Karena pemilikku yang sekarang adalah seorang buruh pabrik, maka isiku kini hanyalah sekedar baju ganti pemilikku yang berbau keringat, yang sudah dipakainya tadi sewaktu ia bekerja,” jawab tas kulit tua itu.
“Apakah hanya itu saja?” tanya tas yang kedua.
“Di bagian depan saku tubuh tasku ada sebuah foto anak dari pemilik tas ini,” jawab tas tua itu. “Hmmm...masih ada lagi, di bagian depan saku tubuhku juga ada transkip nilai dan tagihan pembayaran kuliah dari anak tuan pemilikku.”
Tas tua itu lalu bercerita, “Setiap setelah makan siang, sewaktu beristirahat dari pekerjaan kasarnya sebagai buruh pabrik, hal yang pertama kali dilakukan tuan pemilikku adalah membuka bagian depan saku tubuh tasku. Ia mengambil foto anak semata wayangnya, menatapnya dan mengusap-usap foto tersebut, kemudian ia mengambil transkip nilai kuliah anaknya dan tersenyum bangga karena nilai anaknya tersebut begitu bagus. Namun setelah ia mengambil tagihan pembayaran uang kuliah dan menatap nilai rupiahnya, tuan pemilikku hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya, saat itu juga bisa kupastikan akan ada setetes atau dua tetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Setelah jam makan siang, ia akan mengembalikan foto, transkip nilai dan tagihan pembayaran kuliah anaknya itu ke dalam bagian depan saku tubuh tasku, kemudian ia akan melanjutkan pekerjaannya lagi sembari menyapu matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya.”
“Sungguh kasihan sekali tuan pemilikmu itu,” kata tas yang pertama. “Semoga saja anaknya tidak memalsukan surat tagihan pembayaran uang kuliah, serta transkip nilai seperti pemilik dari tas ransel ini.”
Tiba-tiba loker dibuka oleh penjaga loker, lalu oleh penjaga loker diambilnya tas yang kedua, kemudian diserahkan kepada seorang anak muda yang menitipkan tas tersebut. Tak lama kemudian, kembali penjaga loker tersebut membuka loker dan mengambil tas butut, lalu menyerahkannya kepada seorang lelaki tua.
Sejam kemudian penjaga loker itu kembali membuka loker lagi dan mengambil tas kulit yang bagus, kemudian menyerahkannya kepada seorang lelaki setengah baya yang memakai dasi dan jas rapi serta menggenggam handphone keluaran terbaru.
***
Senja itu matahari hendak menenggelamkan cahayanya. Terlihat dua orang berjalan keluar dari supermarket. Dua orang tersebut bercakap-cakap.
“Ayah sebaiknya pulang duluan saja, aku masih ada kegiatan kemahasiswaan di kampusku,” kata pemuda yang merupakan pemilik dari tas ransel yang dititipkan di loker supermarket tadi.
“Ya, aku akan pulang duluan, belajar yang benar dan jangan pulang malam-malam ya nak,” kata lelaki tua yang merupakan pemilik dari tas kulit tua yang dititipkan di supermarket tadi.
Lelaki tua itu mengusap-usap kepala anaknya yang pamit kepadanya dengan mencium punggung tangan kanannya. Mereka kemudian berpisah.
Matahari semakin menenggelamkan dirinya ke ufuk barat. Wajah lelaki tua itu tengadah menatap matahari yang kian tenggelam. Pikirannya menerawang jauh ke masa depan, serta tagihan uang kuliah putranya yang harus segera dibayarnya semester ini.
***

Salatiga, 2012-2013

Teddy Delano Gozali
Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra

1 komentar: