Dalam Kitab Kakawin Dharmaçunya banyak
sekali tersimpan pelajaran filsafat mistik. Nama penulisnya tidak diketahui. Di
dalamnya hanya disebut nama Sang Malinatha (nama Hindu asli), kemungkinan dia
yang menyiarkan wejangan dalam kitab ini. Kitab Kakawin Dharmaçunya ditulis kira-kira
tahun 1304 Caka atau 1382 Masehi. Namun sayangnya penulisnya tidak mahir dalam
berbahasa Jawa Kuno, oleh karena itu banyak susunan bahasanya yang terkesan
kacau, irama tembang kerap dilanggar. Banyak pula kata-katanya yang campur baur
dengan Bahasa Jawa Tengahan. Di bawah ini adalah cuplikan dari Kitab Kakawin
Dharmaçunya:
Batara Siwah = Suwung
Sipatipun ingkang kasar awujud donya,
kaanggep wangun redi.
Jen karingkes dados meru (redi Himalaya)
Jen karingkes melih dados meru (kados ing
tanah Bali)
Jen karingkes melih dados tiyang.
Terjemahannya:
Batara Siwa = Kosong
Sifat kasarnya berwujud dunia, dianggap
berbangun gunung
Jika diringkas menjadi Meru (gunung
Himalaya)
Kalau diringkas lagi menjadi Meru (seperti
di Bali)
Makin diringkas lagi menjadi manusia.
Inti dari cuplikan
syair Kitab Kakawin Dharmaçunya di atas adalah bahwa sejatinya diri manusia
sebenarnya berasal dari suwung. Suwung merupakan kata yang
berasal dari Bahasa Jawa, yang berarti kosong atau tiada. Mengenai suwung,
Kreshna (dalam Baghawad Gita) pernah berkata: ”setiap manusia harus masuk ke
dalam suatu keheningan (saya membacanya: kesuwungan) sebelum ia melangkah masuk
dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri.” Di saat
kita memasuki kesuwungan inilah, kita sebenarnya berlatih untuk mengenal diri
kita sendiri. Mengenai pengenalan diri, seorang theolog terkemuka dalam sejarah
gereja, Clemen Alexandrinus pernah berkata: “Kalau seseorang mengenal dirinya sendiri,
ia akan mengenal Allah” (Paedagogus III ).[1] Hal
yang sama, menurut seorang sufi Islam ternama, Mulla Shadra yang berdasarkan
hadits Nabi Muhammad S.A.W: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, mengenal
Allahnya”, “mengingat diri menjadi penyebab ingatan pada Allah” dan “ingatan
diri akan Allah identik dengan diri itu sendiri.”[2]
Mengenai kesuwungan ini, menurut Romo Hadiwijaya, dari
Padepokan Pajang Rahayu berkata kepada saya: “suwung itu berarti pengosongan
pikir dan rasa tanpa fokus atau membayangkan apa pun.” Berkenaan
dengan itu juga, Alm. Romo
Panuntun Wisesa (ayah spiritual saya), penganut aliran Bhairawa, berkata: “Suwung
itu tiada pembatasan. Ketika kau menyebut Siwa, dia hanyalah seorang Siwa,
mungkin dengan senjata trisula dan ular yang melingkar di leher. Ketika kau
menyebut Wisnu, dia hanyalah seorang Wisnu yang duduk di atas Garuda. Ketika
kau menyebut Yesus, dia hanyalah seorang Yesus yang berada di kayu salib.
Ketika kau menyebut Budha, dia hanyalah seorang Budha yang duduk bersila.
Selama kesuwunganmu pada bentuk yang terbatas, nama yang terbatas, berarti di
sana ada pembatasan. Dalam kesuwungan kita harus berjalan melebihi
bentuk-bentuk. Kesuwungan tak mempunyai nama, tak berbentuk. Tuhan asli orang Jawa
bernama Sang Hyang Taja (Taja perkataan Jawa asli yang berarti: tidak
ada; dalam bahasa Sunda teu aja), tak berbentuk. Dia juga sebenarnya juga tak bernama, jadi padepokan
kita sejatinya tidak mempunyai nama dan mantera—yang ada hanyalah suwung.”
Memang, seringkali
kita berdoa ataupun bermeditasi dengan memikirkan suatu wujud, kita mewujudkan
Allah ke dalam doa atau meditasi kita. Sebagai manusia kita memang memiliki
keterbatasan, kita seringkali tidak mengira bahwa diri kita saat kita memuja,
berdoa atau bermeditasi sedang membatasi Allah yang tidak terbatas. Oleh sebab
itu, di agama Hindu kuno, setiap imam desa sering memulai pemujaan di kuil dengan
doa permohonan demikian:
O Tuhan, ampunilah tiga dosa yang terjadi karena
keterbatasan kemanusiaanku:
Engkau ada di mana-mana, tetapi aku memuja-Mu di sini;
Engkau ada tanpa wujud, tetapi aku memuja-Mu dalam
wujud-wujud ini;
Engkau tidak membutuhkan pujian, namun aku
mempersembahkan kepadamu doa-doa dan pujian-pujian ini.
Tuhan, ampunilah tiga dosa yang terjadi karena
keterbatasan kemanusiaanku.[3]
Dalam kesuwungan inilah sesungguhnya tiada
pembatasan kepada Dia yang kita puja, kita berjalan melebihi bentuk-bentuk,
melebihi wujud-wujud, melebihi definisi-definisi. Allah itu ada di mana-mana.
Dia bukan obyek, Dia adalah Maha subyek. KeberadaanNya bukan untuk diverifikasi
oleh akal, karena akal terbatas. Dan bahasa tak mampu mendefinisikanNya, karena
bahasa pun masih memiliki keterbatasan.
Mengenai tiada pembatasan dalam
kesuwungan, saya teringat dengan kata-kata Karl Marx, ketika ia mencoba
merumuskan arti ’proletariat’: ”Aku bukan apa-apa, dan (oleh sebab itu) aku
harus jadi segalanya.” Kata ‘bukan apa-apa’ di sini menyiratkan kesuwungan
diri. Dari situasi kesuwungan diri itulah perjuangan ke arah hilangnya kelas
dimulai. Perjuangan ke arah hilangnya kelas, tiada pembatasan—itulah
kesuwungan.
Memang memahami
kesuwungan sama seperti kita memahami sesuatu yang tiada. Siapa saja akan
mengalami kesulitan dalam memahaminya. Kesuwungan merupakan sebuah kebenaran paradoks.
Oleh sebab itu Kakek saya (dalam suatu refleksi) pernah berkata kepada saya bahwa
“Memahami ’Yang Tiada’ sebagai ’Yang Ada’ bukan berarti memproyeksikan diri
kita yang ada ke dalam ’Yang Tiada’, melainkan dengan membuka diri terhadap
’Yang Tiada’—bahkan jika perlu dengan membuang jauh-jauh segala bentuk
prakonsepsi kita dengan menyuwungkan diri dari yang selain ’Yang Tiada’.” Hal
ini sama dengan konsep dalam ilmu tasawuf, pengosongan jiwa terdalam (takhliyat
al-sirr) dilakukan dengan memusatkan diri kepada Yang Satu dan mengosongkan
diri dari yang selain-Nya.[4]
Selain itu, ada
kata-kata yang menarik di dalam Kitab Kakawin Dharmaçunya. Dalam bahasa
Indonesia berbunyi sebagai berikut: “kapas itu menjadi bermacam-macam kain.
Adanya macam-ragam itu karena ditenun oleh manusia kemudian disebut kain cita, lurik,
sembagi, katun, dan sebagainya. Wujudnya itulah yang seringkali dipuja-puja oleh
orang: dasarnya bagus, desainnya indah. Tidak diketahui lagi bahwa semuanya itu
sebenarnya asalnya hanya dari kapas yang sudah dijadikan bermacam-macam barang
oleh manusia.”[5]
Hal ini sama juga
dengan manusia, manusia berasal dari debu. Debu tersebut kemudian dibentuk
menjadi bermacam-macam manusia: ada yang cantik, bagus, menarik; ada yang
jelek, tidak bagus, tidak menarik; ada yang memiliki jabatan, kuasa, kekayaan;
ada yang tak memiliki jabatan, bukan penguasa, miskin. Namun semua wujud yang
indah, cantik, kaya, punya jabatan, punya kekuasaan itu begitu dipuja-puja oleh
manusia. Tidak diketahui lagi bahwa sebenarnya manusia asalnya sama: dari debu.
Seperti halnya
kapas, debu juga merupakan materi yang ringan, materi yang gampang tertiup
angin—dan dapat diterbangkan entah ke mana. Namun kita seringkali masih saja
bertanya: apa bajumu? apa pakaianmu? siapakah kau? siapa kita? siapa kalian?
apa jabatan kalian? seberapa besar kekayaanmu? secantik apa dia? seganteng apa
dia? apa agamamu? apa ideologimu? Padahal di dunia ini manusia menanggung nasib
yang sama—kita semua adalah debu yang nantinya beterbangan tertiup angin
kematian—debu yang nantinya akan kembali ke debu.
Kita memang berasal dari debu, hal ini seharusnya
mengingatkan kita bahwa jika ada yang universal dalam diri manusia, itu adalah
karena ia bisa ada hadir ‘di mana saja’—tengoklah debu bisa menempel di mana
saja: di wajah gelandangan, di wajah Presiden, dan bahkan di wajah Ratu
Kecantikan yang paling bersih sekali pun—wajah manusia secantik apa pun takkan
bisa terhindar atau menghindar dari ketempelan debu, meskipun setiap hari
wajahnya dibersihkan dengan pembersih wajah yang mahal harganya.
Dalam Kristiani, menyuwungkan diri disebut
‘kenosis’ (mengosongkan diri) yang berasal dari kata Yunani κενοω - Kenoô, menurut Leksikon Yunani: to
empty, make empty.[6] Ungkapan kenosis ini ada dalam Kitab Perjanjian Baru, di dalamnya dikatakan
bahwa Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan
Allah sebagai suatu milik yang harus dipertahankan, melainkan telah
mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba.[7] Dan secara simbolis Yesus
melakukannya dengan membasuh kaki murid-muridnya. Dalam hal ini, kenosis atau
menyuwungkan diri bisa berarti melayani, menjadikan diri menjadi seorang
hamba/pelayan.
Di Jawa sendiri sebenarnya ada juga ritus
yang merupakan simbol melayani, seperti membasuh kaki orang tua kita. Dalam hal
ini, prinsip melayani sesama merupakan penemuan diri yang sejati dalam tugasnya
membina kesejahteraan dunia (mamayu hayuning buwana). Dalam melakukan
pelayanan terhadap sesama, kita harus melepasbebaskan diri kita dari ’tuan ego’
dan ‘tuan pamrih’ dalam diri kita—jika tidak sesungguhnya yang kita layani adalah
‘tuan ego’ dan ‘tuan pamrih’. Lewat kesuwungan, setiap orang bisa melayani
tanpa memandang keadaan mereka seperti setiap hal dari orang yang dilayani,
bukan karena mereka pada dasarnya pantas dilayani.
Dalam Kitab Baghawad Gita, Kreshna
menggunakan Raja Janaka dari Mithila, seorang raja yang amat kaya-raya, sebagai
contoh seorang karma-yoga yang ideal, seseorang yang telah menyuwungkan
dirinya—sebab Raja Janaka memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa
sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. Dalam Kitab Ramayana,
Raja Janaka disebutkan adalah ayah dari Shinta (istri Rama). Raja Janaka pernah
berkata, “Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun
punyaku yang lenyap.”
Tanpa keterikatan, inilah yang menjadikan
diri Raja Janaka suwung dari dualisme: sedih dan senang, laba dan rugi, bahagia
dan susah. Di dalam kesuwungan ini tiada pemisahan yang radikal antara
kebahagiaan dan kesedihan. Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan
penderitaan—tidak terusik oleh kedua-duanya—ia hidup dalam suatu kehidupan yang
tak pernah mati. Di sinilah, kesuwungan itu sebagai sikap kita untuk lepas
bebas, ikhlas, tidak terikat oleh apapun—sebab tiada materi, wujud kekuasaan,
harkat, pangkat, jabatan yang kita bawa jika nantinya kita mati. Kesuwungan itu
kiranya juga bukan berarti sikap permusuhan kita terhadap dunia, atau
persekongkolan dengan dunia, tapi sikap lepas bebas terhadap dunia. Sikap lepas
bebas inilah yang harus diwujudkan dalam hidup sehari-hari, dalam menjalani
kehidupan, dalam melayani sesama, dalam membagi kekayaan, dalam menjalankan
kekuasaan—tidak terikat oleh apapun. Dalam kesuwungan tersebut, Raja Janaka
tidak memiliki rasa takut atau pun sedih jika kelak harus kehilangan
kerajaannya.
Walaupun sesungguhnya banyak manusia yang seringkali
mengalami kesedihan, jika ia mengalami kehilangan sesuatu yang dimilikinya. Mengenai
hal ini, Syekh Siti Jenar pernah berkata: “Kehilangan adalah kepedihan.
Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab,
engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.”[8] Sikap lepas bebas seperti seorang
musafir papa yang tidak memiliki apa-apa—itulah yang akan menjadikan diri kita
suwung dari kepedihan saat diri kita merasa kehilangan sesuatu. Sebab semakin
kita merasa memiliki sesuatu, maka diri kita akan semakin menjadi yang merasa
paling kehilangan, jika sesuatu itu lenyap. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa
konsep suwung juga bisa berarti melupakan. Dengan melupakan bahwa kita
telah memiliki sesuatu, maka kita telah menyuwungkan pikiran dan rasa kita dari
milik kita, dari sesuatu yang akan hilang nantinya.
Sikap ‘melupakan’ ini pernah dilakukan
Joko Dolog (Kertanegara disebut juga Bhatara Ciwabuddha), Raja Singosari. Ia
berkata kepada patihnya, ketika kerajaannya diserang Jayakatwang, “Saya tak
pernah mengenal apapun itu sebagai milikku, sebab saya telah ‘melupakan’ apa yang
telah diberikan Siwa kepada saya adalah milikku.” Jayakatwang adalah keturunan
raja Kertajaya yang dibunuh oleh Ken Arok di desa Ganter, karenanya Jayakatwang
menyimpan dendam kepada Kertanegara yang adalah keturunan Ken Arok. Sementara
Kertanegara sudah melupakan dendam. Maka ketika Kerajaan Singosari diserang
Jayakatwang, dalam Kitab Pararaton dikatakan: Ciwabuddha pijer anadah sajong
(tiada lain yang dibuat Ciwabuddha, kecuali minum tuak). Dalam aliran
Bhairawa, apa yang dilakukan oleh Kertanegara itu memerlihatkan tingkat kesuwungan
seseorang.
Kertanegara adalah penganut inti aliran
Bhairawa. Penganut inti aliran Bhairawa biasanya hanya terbatas kepada beberapa
orang saja, oleh karena itu upacara-upacaranya sangat dirahasiakan, terdiri
dari menjalankan Lima Keharusan dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.
Salah satu upacaranya adalah memakai ritual minum tuak, jadi tak mengherankan
jikalau Kertanegara, yang menjadi anggota aliran ini dikatakan sebagai pemabuk
oleh orang di luar aliran Bhairawa.
Selain di kerajaan-kerajaan Jawa, aliran
Bhairawa terdapat pula di Melayu, yang erat hubungannya dengan Singasari dan
kemudian dengan Majapahit. Adityawarman, penganut aliran Bhairawa, seorang raja
dari kerajaan Melayu, yang erat hubungannya dengan Majapahit, menurut piagam
yang ada, menerima penasbihannya di tengah lapangan bangkai, sambil duduk di
atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadap ke bangkai manusia yang
menyebarkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat harum baunya[9]—sebab Adityawarman telah menyuwungkan
dirinya.
Mengenai kesuwungan, Kebo Kenanga (Ki
Ageng Pengging), pernah berkata kepada salah satu Walisanga: “Dalam kesuwungan,
saya hakikatnya tidak berjalan menuju Gusti Pangeran, tetapi berjalan bersama
Gusti Pangeran—sebab Gusti Pangeran ada di dalam diri saya. Jadi di situasi tak beragama, atau ‘berbaju’
agama apa pun, saya tetap beriman kepada Gusti Pangeran. Maka keterlibatan saya
di dalam dunia tak mengikat saya pada dunia—sebab titik pangkal saya bukanlah
dunia, melainkan hati saya sendiri, yang adalah tahta Gusti Pangeran.”[10]
Pemaknaan kesuwungan Kebo Kenanga ini
mengacu pada filosofi Jawa Manunggaling Kawula Gusti. Dalam kesuwungan, Allah
sesungguhnya hidup dalam diri kita, dan kita hidup di dalam Allah. Selain itu
ada juga filosofi Jawa: warangka amanjing curiga, curiga amanjing warangka,
yang jika dihubungkan dengan pernyataan Kebo Kenanga dapat dimaknai bahwa raga mengikuti
sukma yang merupakan cerminan Allah, dan sukma yang merupakan cerminan Allah
bersemayam di dalam raga. Dalam
hal inilah, maka kesuwungan memang suatu hal yang subyektif. Kesuwungan
bukanlah pengakuan terhadap serangkaian ajaran tertentu. Kesuwungan melibatkan
keadaan batin. Seseorang tak dapat menghayati kesuwungan, hanya dengan menjadi
bagian dari suatu kelompok spiritual yang setiap hari membicarakan kesuwungan,
setiap individu harus menghayati kesuwungan sebagai seorang pribadi. Kesuwungan
merupakan hal yang paling tinggi yang dapat dicapai manusia dan merupakan
tuntutan yang paling sulit. Kesuwungan menuntut totalitas, menantang, dan tidak
mapan.
Mengenai hal ini, teman saya pernah berkata
pada saya bahwa “Bullshit, tiada itu yang namanya kesuwungan, tiada yang
namanya keikhlasan di dunia ini. Sebuah ruangan kosong sekali pun tidak akan benar-benar
kosong.” Lewat tulisan ini, saya menanggapi pernyataannya (berpijak pada
dialektika yang dicetuskan oleh Hegel, yang jika dibahasakan secara formal: A =
non A) bahwa jika kita merenungkan konsep ‘ada’, maka saya harus memperkenalkan
konsep sebaliknya yaitu ‘tiada’. Kita tak dapat merenungkan keberadaan kita
tanpa segera menyadari bahwa kita tidak akan selalu ada. Kesuwungan atau pun
keikhlasan itu merupakan sebuah proses menjadi. Kesuwungan atau pun keikhlasan bukanlah
sesuatu yang dapat dicapai seseorang dan kemudian dilewati. Kesuwungan atau pun
keikhlasan harus dihayati oleh seseorang selama seumur hidupnya. Oleh sebab itu
jika kesuwungan atau pun keikhlasan itu adalah suatu proses menjadi, maka ia
‘ada’ dan sekaligus ‘tiada’, ia ‘isi’ dan sekaligus ‘kosong’.
Akhirnya, lewat tulisan ini saya hendak
mengatakan bahwa untuk menemukan kesuwungan kita tidak perlu berlari dari dunia
ini, atau menuju hutan dalam kesendirian seperti pertapa-pertapa kuno masa lalu.
Sebab kesuwungan sesungguhnya tidak perlu kita cari di lain tempat, di hutan,
di kuburan yang menggalang sepi atau surga di atas sana—melainkan di sini,
sekarang ini juga—lepas bebas, ikhlas, tidak terikat oleh apa pun.
Dalam kesuwungan, sesungguhnya kita berproses
untuk mematikan kedirian dalam hidup (mati sajroning urip) dan dalam proses
kematian akan kedirian itu, kita hidup (urip sajroning mati), dengan
begitulah maka kita akan menemukan hidup dalam kesejatian hidup (urip
sejatining urip). Dalam kesuwungan, kita akan seperti kapas ikhlas yang
ringan tanpa beban, debu lepas-bebas yang beterbangan—dan hidup ini akan
menjadi jalan bagi kita untuk menemukan sejatinya diri—melayani diri dan sesama
dengan ikhlas, suwung ing pamrih. Seperti kata R.M. Panji Sosrokartono: “...suwung pamrih,
suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng
Gusti...” (“...Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, segalanya saya
serahkan kepada Tuhan … “)
***
Teddy Delano Gozali
Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra
[2]
Kutipan ini dari Se ‘Ashl, karya Mulla Shadra yang ditulis dalam bahasa
Persia—diambil dari Shahram Padouki, Sufi Knowledge in Mulla Shadra dalam
Seyyed G.Safavi, Perception According to Mulla Shadra, Teheran:
Salman-Azadeh, 2002, hlm. 13-14.
[3] Seperti
dikutip oleh Huston Smith, The Religions of Man, New York, 1965, hlm.42—dalam
Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, Roma: Gregorian University
Press, 1973—dalam bahasa Indonesia berjudul Fenomenologi Agama,
diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama “Driyarkara”, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1995, hlm.256.
[4] Lihat Mir
Valiuddin, Contemplative Discipline in Sufism. Ed. Gulshan
Khakee. London & The Hague: East-West Publications, 1980, hlm.1-3.
[5] Lihat
R.M. Ng. Poerbatjaraka & Tardjan Hadijaja, Kepustakaan Djawa,
Jakarta: Penerbit Djambatan, 1952, hlm. 53-54.
[6] Lihat
Harold K. Moulton, The Analytical Greek Lexicon Revised, Grand Rapids,
Michigan: Zondervan Publishing House, 1978, hlm. 228.
[8] Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292. dalam http://www.alangalangkumitir.wordpress.com, Tentang
Ketauhidan Syekh Siti Jenar.
[9] S. Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan
Indonesia: Indonesia Sedjak Pengaruh India, Djakarta: Penerbit Siliwangi
N.V, 1950, hlm 148-149.
[10] Berdasarkan refleksi perjalanan mengenal masa lalu
diri penulis yang dijembatani Alm. Romo Panuntun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar