Senin, 02 Desember 2013

Suwung (Dalam Kitab Kakawin Dharmaçunya)


Pendahuluan
Dalam Kitab Kakawin Dharmaçunya banyak sekali tersimpan pelajaran filsafat mistik. Nama penulisnya tidak diketahui. Di dalamnya hanya disebut nama Sang Malinatha (nama Hindu asli), kemungkinan dia yang menyiarkan wejangan dalam kitab ini. Kitab Kakawin Dharmaçunya ditulis kira-kira tahun 1304 Caka atau 1382 Masehi. Namun sayangnya penulisnya tidak mahir dalam berbahasa Jawa Kuno, oleh karena itu banyak susunan bahasanya yang terkesan kacau, irama tembang kerap dilanggar. Banyak pula kata-katanya yang campur baur dengan Bahasa Jawa Tengahan. Di bawah ini adalah cuplikan dari Kitab Kakawin Dharmaçunya:
Batara Siwah = Suwung
Sipatipun ingkang kasar awujud donya, kaanggep wangun redi.
Jen karingkes dados meru (redi Himalaya)
Jen karingkes melih dados meru (kados ing tanah Bali)
Jen karingkes melih dados tiyang.


Terjemahannya:
Batara Siwa = Kosong
Sifat kasarnya berwujud dunia, dianggap berbangun gunung
Jika diringkas menjadi Meru (gunung Himalaya)
Kalau diringkas lagi menjadi Meru (seperti di Bali)
Makin diringkas lagi menjadi manusia.
           
Mengenal Diri dan Tiada Pembatasan
Inti dari cuplikan syair Kitab Kakawin Dharmaçunya di atas adalah bahwa sejatinya diri manusia sebenarnya berasal dari suwung. Suwung merupakan kata yang berasal dari Bahasa Jawa, yang berarti kosong atau tiada. Mengenai suwung, Kreshna (dalam Baghawad Gita) pernah berkata: ”setiap manusia harus masuk ke dalam suatu keheningan (saya membacanya: kesuwungan) sebelum ia melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri.” Di saat kita memasuki kesuwungan inilah, kita sebenarnya berlatih untuk mengenal diri kita sendiri. Mengenai pengenalan diri, seorang theolog terkemuka dalam sejarah gereja, Clemen Alexandrinus pernah berkata: “Kalau seseorang mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal Allah” (Paedagogus III ).[1] Hal yang sama, menurut seorang sufi Islam ternama, Mulla Shadra yang berdasarkan hadits Nabi Muhammad S.A.W: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, mengenal Allahnya”, “mengingat diri menjadi penyebab ingatan pada Allah” dan “ingatan diri akan Allah identik dengan diri itu sendiri.”[2]
Mengenai kesuwungan ini, menurut Romo Hadiwijaya, dari Padepokan Pajang Rahayu berkata kepada saya: “suwung itu berarti pengosongan pikir dan rasa tanpa fokus atau membayangkan apa pun.” Berkenaan dengan itu juga, Alm. Romo Panuntun Wisesa (ayah spiritual saya), penganut aliran Bhairawa, berkata: “Suwung itu tiada pembatasan. Ketika kau menyebut Siwa, dia hanyalah seorang Siwa, mungkin dengan senjata trisula dan ular yang melingkar di leher. Ketika kau menyebut Wisnu, dia hanyalah seorang Wisnu yang duduk di atas Garuda. Ketika kau menyebut Yesus, dia hanyalah seorang Yesus yang berada di kayu salib. Ketika kau menyebut Budha, dia hanyalah seorang Budha yang duduk bersila. Selama kesuwunganmu pada bentuk yang terbatas, nama yang terbatas, berarti di sana ada pembatasan. Dalam kesuwungan kita harus berjalan melebihi bentuk-bentuk. Kesuwungan tak mempunyai nama, tak berbentuk. Tuhan asli orang Jawa bernama Sang Hyang Taja (Taja perkataan Jawa asli yang berarti: tidak ada; dalam bahasa Sunda teu aja), tak berbentuk. Dia juga sebenarnya juga tak bernama, jadi padepokan kita sejatinya tidak mempunyai nama dan mantera—yang ada hanyalah suwung.”
Memang, seringkali kita berdoa ataupun bermeditasi dengan memikirkan suatu wujud, kita mewujudkan Allah ke dalam doa atau meditasi kita. Sebagai manusia kita memang memiliki keterbatasan, kita seringkali tidak mengira bahwa diri kita saat kita memuja, berdoa atau bermeditasi sedang membatasi Allah yang tidak terbatas. Oleh sebab itu, di agama Hindu kuno, setiap imam desa sering memulai pemujaan di kuil dengan doa permohonan demikian:
O Tuhan, ampunilah tiga dosa yang terjadi karena keterbatasan kemanusiaanku:
Engkau ada di mana-mana, tetapi aku memuja-Mu di sini;
Engkau ada tanpa wujud, tetapi aku memuja-Mu dalam wujud-wujud ini;
Engkau tidak membutuhkan pujian, namun aku mempersembahkan kepadamu doa-doa dan pujian-pujian ini.
Tuhan, ampunilah tiga dosa yang terjadi karena keterbatasan kemanusiaanku.[3]
Dalam kesuwungan inilah sesungguhnya tiada pembatasan kepada Dia yang kita puja, kita berjalan melebihi bentuk-bentuk, melebihi wujud-wujud, melebihi definisi-definisi. Allah itu ada di mana-mana. Dia bukan obyek, Dia adalah Maha subyek. KeberadaanNya bukan untuk diverifikasi oleh akal, karena akal terbatas. Dan bahasa tak mampu mendefinisikanNya, karena bahasa pun masih memiliki keterbatasan.
Mengenai tiada pembatasan dalam kesuwungan, saya teringat dengan kata-kata Karl Marx, ketika ia mencoba merumuskan arti ’proletariat’: ”Aku bukan apa-apa, dan (oleh sebab itu) aku harus jadi segalanya.” Kata ‘bukan apa-apa’ di sini menyiratkan kesuwungan diri. Dari situasi kesuwungan diri itulah perjuangan ke arah hilangnya kelas dimulai. Perjuangan ke arah hilangnya kelas, tiada pembatasan—itulah kesuwungan.
Memang memahami kesuwungan sama seperti kita memahami sesuatu yang tiada. Siapa saja akan mengalami kesulitan dalam memahaminya. Kesuwungan merupakan sebuah kebenaran paradoks. Oleh sebab itu Kakek saya (dalam suatu refleksi) pernah berkata kepada saya bahwa “Memahami ’Yang Tiada’ sebagai ’Yang Ada’ bukan berarti memproyeksikan diri kita yang ada ke dalam ’Yang Tiada’, melainkan dengan membuka diri terhadap ’Yang Tiada’—bahkan jika perlu dengan membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi kita dengan menyuwungkan diri dari yang selain ’Yang Tiada’.” Hal ini sama dengan konsep dalam ilmu tasawuf, pengosongan jiwa terdalam (takhliyat al-sirr) dilakukan dengan memusatkan diri kepada Yang Satu dan mengosongkan diri dari yang selain-Nya.[4]

Asal Kain, Asal Manusia
Selain itu, ada kata-kata yang menarik di dalam Kitab Kakawin Dharmaçunya. Dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: “kapas itu menjadi bermacam-macam kain. Adanya macam-ragam itu karena ditenun oleh manusia kemudian disebut kain cita, lurik, sembagi, katun, dan sebagainya. Wujudnya itulah yang seringkali dipuja-puja oleh orang: dasarnya bagus, desainnya indah. Tidak diketahui lagi bahwa semuanya itu sebenarnya asalnya hanya dari kapas yang sudah dijadikan bermacam-macam barang oleh manusia.”[5]
Hal ini sama juga dengan manusia, manusia berasal dari debu. Debu tersebut kemudian dibentuk menjadi bermacam-macam manusia: ada yang cantik, bagus, menarik; ada yang jelek, tidak bagus, tidak menarik; ada yang memiliki jabatan, kuasa, kekayaan; ada yang tak memiliki jabatan, bukan penguasa, miskin. Namun semua wujud yang indah, cantik, kaya, punya jabatan, punya kekuasaan itu begitu dipuja-puja oleh manusia. Tidak diketahui lagi bahwa sebenarnya manusia asalnya sama: dari debu.
Seperti halnya kapas, debu juga merupakan materi yang ringan, materi yang gampang tertiup angin—dan dapat diterbangkan entah ke mana. Namun kita seringkali masih saja bertanya: apa bajumu? apa pakaianmu? siapakah kau? siapa kita? siapa kalian? apa jabatan kalian? seberapa besar kekayaanmu? secantik apa dia? seganteng apa dia? apa agamamu? apa ideologimu? Padahal di dunia ini manusia menanggung nasib yang sama—kita semua adalah debu yang nantinya beterbangan tertiup angin kematian—debu yang nantinya akan kembali ke debu.
Kita memang berasal dari debu, hal ini seharusnya mengingatkan kita bahwa jika ada yang universal dalam diri manusia, itu adalah karena ia bisa ada hadir ‘di mana saja’—tengoklah debu bisa menempel di mana saja: di wajah gelandangan, di wajah Presiden, dan bahkan di wajah Ratu Kecantikan yang paling bersih sekali pun—wajah manusia secantik apa pun takkan bisa terhindar atau menghindar dari ketempelan debu, meskipun setiap hari wajahnya dibersihkan dengan pembersih wajah yang mahal harganya.

Melayani dalam Kesuwungan
Dalam Kristiani, menyuwungkan diri disebut ‘kenosis’ (mengosongkan diri) yang berasal dari kata Yunani κενοω - Kenoô, menurut Leksikon Yunani: to empty, make empty.[6] Ungkapan kenosis ini ada dalam Kitab Perjanjian Baru, di dalamnya dikatakan bahwa Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai suatu milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba.[7] Dan secara simbolis Yesus melakukannya dengan membasuh kaki murid-muridnya. Dalam hal ini, kenosis atau menyuwungkan diri bisa berarti melayani, menjadikan diri menjadi seorang hamba/pelayan.
Di Jawa sendiri sebenarnya ada juga ritus yang merupakan simbol melayani, seperti membasuh kaki orang tua kita. Dalam hal ini, prinsip melayani sesama merupakan penemuan diri yang sejati dalam tugasnya membina kesejahteraan dunia (mamayu hayuning buwana). Dalam melakukan pelayanan terhadap sesama, kita harus melepasbebaskan diri kita dari ’tuan ego’ dan ‘tuan pamrih’ dalam diri kita—jika tidak sesungguhnya yang kita layani adalah ‘tuan ego’ dan ‘tuan pamrih’. Lewat kesuwungan, setiap orang bisa melayani tanpa memandang keadaan mereka seperti setiap hal dari orang yang dilayani, bukan karena mereka pada dasarnya pantas dilayani.

Tanpa Keterikatan dan ‘Melupakan’
Dalam Kitab Baghawad Gita, Kreshna menggunakan Raja Janaka dari Mithila, seorang raja yang amat kaya-raya, sebagai contoh seorang karma-yoga yang ideal, seseorang yang telah menyuwungkan dirinya—sebab Raja Janaka memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. Dalam Kitab Ramayana, Raja Janaka disebutkan adalah ayah dari Shinta (istri Rama). Raja Janaka pernah berkata, “Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun punyaku yang lenyap.”
Tanpa keterikatan, inilah yang menjadikan diri Raja Janaka suwung dari dualisme: sedih dan senang, laba dan rugi, bahagia dan susah. Di dalam kesuwungan ini tiada pemisahan yang radikal antara kebahagiaan dan kesedihan. Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan penderitaan—tidak terusik oleh kedua-duanya—ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pernah mati. Di sinilah, kesuwungan itu sebagai sikap kita untuk lepas bebas, ikhlas, tidak terikat oleh apapun—sebab tiada materi, wujud kekuasaan, harkat, pangkat, jabatan yang kita bawa jika nantinya kita mati. Kesuwungan itu kiranya juga bukan berarti sikap permusuhan kita terhadap dunia, atau persekongkolan dengan dunia, tapi sikap lepas bebas terhadap dunia. Sikap lepas bebas inilah yang harus diwujudkan dalam hidup sehari-hari, dalam menjalani kehidupan, dalam melayani sesama, dalam membagi kekayaan, dalam menjalankan kekuasaan—tidak terikat oleh apapun. Dalam kesuwungan tersebut, Raja Janaka tidak memiliki rasa takut atau pun sedih jika kelak harus kehilangan kerajaannya.
Walaupun sesungguhnya banyak manusia yang seringkali mengalami kesedihan, jika ia mengalami kehilangan sesuatu yang dimilikinya. Mengenai hal ini, Syekh Siti Jenar pernah berkata: “Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.”[8] Sikap lepas bebas seperti seorang musafir papa yang tidak memiliki apa-apa—itulah yang akan menjadikan diri kita suwung dari kepedihan saat diri kita merasa kehilangan sesuatu. Sebab semakin kita merasa memiliki sesuatu, maka diri kita akan semakin menjadi yang merasa paling kehilangan, jika sesuatu itu lenyap. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa konsep suwung juga bisa berarti melupakan. Dengan melupakan bahwa kita telah memiliki sesuatu, maka kita telah menyuwungkan pikiran dan rasa kita dari milik kita, dari sesuatu yang akan hilang nantinya.
Sikap ‘melupakan’ ini pernah dilakukan Joko Dolog (Kertanegara disebut juga Bhatara Ciwabuddha), Raja Singosari. Ia berkata kepada patihnya, ketika kerajaannya diserang Jayakatwang, “Saya tak pernah mengenal apapun itu sebagai milikku, sebab saya telah ‘melupakan’ apa yang telah diberikan Siwa kepada saya adalah milikku.” Jayakatwang adalah keturunan raja Kertajaya yang dibunuh oleh Ken Arok di desa Ganter, karenanya Jayakatwang menyimpan dendam kepada Kertanegara yang adalah keturunan Ken Arok. Sementara Kertanegara sudah melupakan dendam. Maka ketika Kerajaan Singosari diserang Jayakatwang, dalam Kitab Pararaton dikatakan: Ciwabuddha pijer anadah sajong (tiada lain yang dibuat Ciwabuddha, kecuali minum tuak). Dalam aliran Bhairawa, apa yang dilakukan oleh Kertanegara itu memerlihatkan tingkat kesuwungan seseorang.
Kertanegara adalah penganut inti aliran Bhairawa. Penganut inti aliran Bhairawa biasanya hanya terbatas kepada beberapa orang saja, oleh karena itu upacara-upacaranya sangat dirahasiakan, terdiri dari menjalankan Lima Keharusan dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Salah satu upacaranya adalah memakai ritual minum tuak, jadi tak mengherankan jikalau Kertanegara, yang menjadi anggota aliran ini dikatakan sebagai pemabuk oleh orang di luar aliran Bhairawa.
Selain di kerajaan-kerajaan Jawa, aliran Bhairawa terdapat pula di Melayu, yang erat hubungannya dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Adityawarman, penganut aliran Bhairawa, seorang raja dari kerajaan Melayu, yang erat hubungannya dengan Majapahit, menurut piagam yang ada, menerima penasbihannya di tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadap ke bangkai manusia yang menyebarkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat harum baunya[9]—sebab Adityawarman telah menyuwungkan dirinya.

Kesuwungan: Proses Penghayatan Diri Seumur Hidup
Mengenai kesuwungan, Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging), pernah berkata kepada salah satu Walisanga: “Dalam kesuwungan, saya hakikatnya tidak berjalan menuju Gusti Pangeran, tetapi berjalan bersama Gusti Pangeran—sebab Gusti Pangeran ada di dalam diri saya. Jadi di situasi tak beragama, atau ‘berbaju’ agama apa pun, saya tetap beriman kepada Gusti Pangeran. Maka keterlibatan saya di dalam dunia tak mengikat saya pada dunia—sebab titik pangkal saya bukanlah dunia, melainkan hati saya sendiri, yang adalah tahta Gusti Pangeran.”[10]
Pemaknaan kesuwungan Kebo Kenanga ini mengacu pada filosofi Jawa Manunggaling Kawula Gusti. Dalam kesuwungan, Allah sesungguhnya hidup dalam diri kita, dan kita hidup di dalam Allah. Selain itu ada juga filosofi Jawa: warangka amanjing curiga, curiga amanjing warangka, yang jika dihubungkan dengan pernyataan Kebo Kenanga dapat dimaknai bahwa raga mengikuti sukma yang merupakan cerminan Allah, dan sukma yang merupakan cerminan Allah bersemayam di dalam raga. Dalam hal inilah, maka kesuwungan memang suatu hal yang subyektif. Kesuwungan bukanlah pengakuan terhadap serangkaian ajaran tertentu. Kesuwungan melibatkan keadaan batin. Seseorang tak dapat menghayati kesuwungan, hanya dengan menjadi bagian dari suatu kelompok spiritual yang setiap hari membicarakan kesuwungan, setiap individu harus menghayati kesuwungan sebagai seorang pribadi. Kesuwungan merupakan hal yang paling tinggi yang dapat dicapai manusia dan merupakan tuntutan yang paling sulit. Kesuwungan menuntut totalitas, menantang, dan tidak mapan.
Mengenai hal ini, teman saya pernah berkata pada saya bahwa “Bullshit, tiada itu yang namanya kesuwungan, tiada yang namanya keikhlasan di dunia ini. Sebuah ruangan kosong sekali pun tidak akan benar-benar kosong.” Lewat tulisan ini, saya menanggapi pernyataannya (berpijak pada dialektika yang dicetuskan oleh Hegel, yang jika dibahasakan secara formal: A = non A) bahwa jika kita merenungkan konsep ‘ada’, maka saya harus memperkenalkan konsep sebaliknya yaitu ‘tiada’. Kita tak dapat merenungkan keberadaan kita tanpa segera menyadari bahwa kita tidak akan selalu ada. Kesuwungan atau pun keikhlasan itu merupakan sebuah proses menjadi. Kesuwungan atau pun keikhlasan bukanlah sesuatu yang dapat dicapai seseorang dan kemudian dilewati. Kesuwungan atau pun keikhlasan harus dihayati oleh seseorang selama seumur hidupnya. Oleh sebab itu jika kesuwungan atau pun keikhlasan itu adalah suatu proses menjadi, maka ia ‘ada’ dan sekaligus ‘tiada’, ia ‘isi’ dan sekaligus ‘kosong’.

Penutup
Akhirnya, lewat tulisan ini saya hendak mengatakan bahwa untuk menemukan kesuwungan kita tidak perlu berlari dari dunia ini, atau menuju hutan dalam kesendirian seperti pertapa-pertapa kuno masa lalu. Sebab kesuwungan sesungguhnya tidak perlu kita cari di lain tempat, di hutan, di kuburan yang menggalang sepi atau surga di atas sana—melainkan di sini, sekarang ini juga—lepas bebas, ikhlas, tidak terikat oleh apa pun.
Dalam kesuwungan, sesungguhnya kita berproses untuk mematikan kedirian dalam hidup (mati sajroning urip) dan dalam proses kematian akan kedirian itu, kita hidup (urip sajroning mati), dengan begitulah maka kita akan menemukan hidup dalam kesejatian hidup (urip sejatining urip). Dalam kesuwungan, kita akan seperti kapas ikhlas yang ringan tanpa beban, debu lepas-bebas yang beterbangan—dan hidup ini akan menjadi jalan bagi kita untuk menemukan sejatinya diri—melayani diri dan sesama dengan ikhlas, suwung ing pamrih. Seperti kata R.M. Panji Sosrokartono: “...suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti...” (“...Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, segalanya saya serahkan kepada Tuhan … “)
***
Teddy Delano Gozali
Pelayan Padepokan Bhairawa Herucakra




Referensi:
[1] Lihat Yohanes Calvin, Institutio, BPK Gunung Mulia, 1980, hlm.5.
[2] Kutipan ini dari Se ‘Ashl, karya Mulla Shadra yang ditulis dalam bahasa Persia—diambil dari Shahram Padouki, Sufi Knowledge in Mulla Shadra dalam Seyyed G.Safavi, Perception According to Mulla Shadra, Teheran: Salman-Azadeh, 2002, hlm. 13-14.
[3] Seperti dikutip oleh Huston Smith, The Religions of Man, New York, 1965, hlm.42—dalam Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, Roma: Gregorian University Press, 1973—dalam bahasa Indonesia berjudul Fenomenologi Agama, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama “Driyarkara”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, hlm.256.
[4] Lihat Mir Valiuddin, Contemplative Discipline in Sufism. Ed. Gulshan Khakee. London & The Hague: East-West Publications, 1980, hlm.1-3.
[5] Lihat R.M. Ng. Poerbatjaraka & Tardjan Hadijaja, Kepustakaan Djawa, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1952, hlm. 53-54.
[6] Lihat Harold K. Moulton, The Analytical Greek Lexicon Revised, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1978, hlm. 228.
[7] Lihat Kitab Perjanjian Baru, dalam Filipi 2:6-7.
[8] Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292. dalam http://www.alangalangkumitir.wordpress.com, Tentang Ketauhidan Syekh Siti Jenar.
[9] S. Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan Indonesia: Indonesia Sedjak Pengaruh India, Djakarta: Penerbit Siliwangi N.V, 1950, hlm 148-149.
[10] Berdasarkan refleksi perjalanan mengenal masa lalu diri penulis yang dijembatani Alm. Romo Panuntun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar